Shirley Shackleton bercerita terkait
kegigihannya membawa kembali jenazah suaminya ke Australia, di Kantor Asia
Pacific Journalism Centre (APJC), 90 Amess Street, Melbourne, Australia. Foto:
Viodeogo
|
Antara Tanah Kusir dan Melbourne
Yanuarius Viodeogo
Dibalik
fisiknya yang tampak lemah, derap langkahnya yang tegas mengiringi kami duduk
ke arah sofa kuning di antara perpustakaan dan perapian. Shirley duduk tepat di
bawah spanduk bertuliskan The Jakarta Post menuturkan pengalamannya selama 37
tahun hingga kini terus berjuang untuk membawa pulang jenazah suaminya dari pemakaman
Tanah Kusir, Jakarta ke Australia.
Namanya
Shirley Shackleton, 80 tahun. Rambutnya kini putih semua. Kulit tangan dan muka
keriput dimakan usia. Tapi dia semangat ingin menjawab pertanyaan yang sudah
dipersiapkan.
Dia
adalah janda almarhum Greg Shackleton, wartawan Chanel 7, satu di antara lima
wartawan Australia yang diduga dibunuh oleh Tentara Indonesia saat meliput
perang sipil di Balibo, Timor Timur pada 16 Oktober 1975 silam.
Setelah
37 tahun ditinggal suaminya, Shirley memanfaatkan waktunya agar bisa membawa
kembali jenazah suaminya, di lain waktu dia juga mengkampanyekan kebebasan pers
yang mengancam para tugas jurnalis.
“Saya
sepanjang hidup menceritakan tentang suami saya lagi. Bersama itu juga, selama
37 tahun pula saya lebih fokus pada Hak Asasi Manusia (HAM) di Timor Timur. Bukan
untuk suami saya saja tapi untuk semua wartawan yang mengalami kekerasan di
negara demokrasi dan apa yang telah terjadi pada wartawan Australia waktu itu,”
ujar Shirley, di minggu terakhir di bulan November, Melbourne, Australia.
Dia
menceritakan selalu diwawancarai dari berbagai macam media massa cetak maupun
elektronik mengenai suaminya dan Timor Timur. Salah satunya ketika dia
berkesempatan diwawancarai BBC London.
Di
radio itu, dia ceritakan pengalamannya menyaksikan secara langsung kemerdekaan
Timor Timur dan kisah selama ditinggal suaminya. Kejadian menarik saat dia
diwawancarai BBC London yang topiknya mereka ingin tahu keberadaan Shirley saat
melihat kemerdekaan Timor Timur. Ternyata seorang koleganya mendengarkan sesi
wawancara di radio tersebut.
“Seorang
kenalan saya tak terbiasa dengar radio di dalam mobil. Untuk membuang bosan dia
menghidupkan radio, dan mendengar wawancara saya tentang Timor Timur. Dia
tertarik dan ingin mengajak saya wawancara lagi mengenai topik yang sama,”
katanya sambil tertawa.
Di
setiap kesempatan, Shirley menuturkan sebagai seorang aktivis sama halnya
bekerja seperti seorang wartawan. Menurutnya menjadi seorang jurnalis itu
penting karena menyebarkan kebenaran. Tetapi hal itu penuh resiko berat.
Fisik semakin tua, tapi semangatnya menulis tetap tinggi. Dia ingin kebenaran peristiwa Balibo harus terungkap. Foto: Viodeogo |
Setelah
selesai kemerdekaan di Timor Timur, Shirley bertemu dengan para wartawan dari
berbagai media di Australia. Dia mengajak mereka melakukan investigasi. Lalu
seorang jurnalis mengatakan kepada Shirley, bahwa dia telah mendapatkan banyak
bukti terkait terbunuhnya kelima jurnalis Australia di Balibo.
Menurut
wartawan itu lagi, seharusnya pembunuh para jurnalis harus dihukum berat, karena
mereka menjalani tugas persnya hanya menggunakan baju sipil tanpa ada
perlawanan senjata. Setelah melakukan investigasi, Shirley menuangkan dalam
sebuah buku.
Pada
tahun 2010, Desember, Shirley Shackleton menerima penghargaan prestisius
bernama Walkley Awards ke 9. Dia menerima penghargaan buku terbaik kategori The
Circle of Silence.
Buku
itu menceritakan usaha dia mengkampanyekan keadilan setelah pembunuhan suaminya
di Balibo selama invasi tentara Indonesia di Timor Timur.
Dia
ingin bukti-bukti kejadian pada masa itu terungkap. Karena kejadian
sesungguhnya ditutupi oleh Pemerintah Australia. Hal itu mencerminkan
sesungguhnya tidak ada demokrasi di Australia.
Alasan Shirley menulis buku supaya orang Timor
Timur tahu dengan sejarahnya sendiri. Karena banyak informasi yang salah telah
disebarkan.
“Saya
tidak percaya kalau saya menang. Sebelum terima penghargaan seorang senator
diujung telepon berbicara kepada saya, bahwa dia yakin saya akan menang. Tapi
saya tetap tidak yakin saja kalau saya akan menang,” kata Shirley.
Jual Rumah, Dipenjara di Indonesia
Peristiwa
yang dialami suaminya memang menjadi pengalaman menyedihkan bagi Shirley
Shackleton dan anaknya. Berbagai upaya telah dilakukan agar bisa membawa pulang
jenazah suaminya.
Dua
tahun lalu dia pergi ke Jakarta dan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Marty
Natalegawa agar bisa mengambil jenazah. Tetapi sampai saat ini pertemuan itu tidak
jadi. Selanjutnya di Oktober 2012, Shirley kembali lagi ke Jakarta dan
mengunjungi makam suaminya.
Kondisi makam lebih terawat dibanding waktu pertama
kali Shirley datang. Sekarang lebih bersih, makam diporselin dan nama suaminya
terukir di batu nisan.
Usaha
pada tahun ini pun tidak membuahkan hasil. Birokrasi Pemerintah Indonesia tetap
saja mempersulit pengambilan jenazah. Namun cara lain tetap ditempuh Shirley
dengan membangun jaringan di Jakarta untuk membantu pemulangan jenazah.
Shirley
mengaku sangat berterimakasih dengan seorang senator dari Australia bernama
Nick Xenaphone yang dengan kerendahan hatinya membantu biaya perjalanan
Australia-Jakarta dan biaya hidupnya beberapa hari di Jakarta.
“Dia
membantu saya melakukan itu. Saya sangat beruntung karena ada sukarelawan
membantu saya, termasuk dari para pengacara dan akademisi,” tuturnya. Shirley
juga mendapat dukungan dari Kontras dan para relawan lainnya.
Apa
yang telah dilakukan para sukarelawan selama menemani dirinya untuk memulangkan
jenazah suaminya berbeda dengan berbagai tanggapan sinis dari beberapa orang
Australia sendiri. Termasuklah kakak laki-lakinya sendiri yang menilai usaha
selama puluhan tahun tersebut adalah tindakan sia-sia.
“Kakak
laki-laki saya selalu marah dengan apa yang saya lakukan. Katanya, kalau anda bekerja
untuk mencari uang daripada mengerjakan apa yang kamu lakukan saat ini, kamu
mungkin sudah kaya,” ujar Shirley menirukan ucapan kakak laki-lakinya. Berbeda
dengan anaknya yang memberikan dukungan walaupun tidak terlibat langsung.
“Karena
ada trauma yang masih membekas membuat dia tidak mau terlibat langsung,”
ungkapnya. Walau begitu, pendiriannya tetap kokoh walaupun tidak mendapatkan dukungan secara
maksimal dari orang-orang terdekatnya. Dia masih mempercayai bahwa akan
berhasil membawa jenazah suaminya kembali ke Australia. Itu semua karena cinta
yang besar kepada suaminya.
Penolakan
pun datang dari Pemerintah Australia karena menurut pemerintah tugas yang
mereka lakukan adalah keliru karena melakukan peliputan di daerah perang. Pada
saat itu anggapan Pemerintah Australia, meliput daerah perang adalah pekerjaan
bodoh.
“Tapi
saya menilai bahwa itu adalah pekerjaan mulia. Karena mereka langsung meliput
ke tempat kejadian. Peristiwa itu tidak sepatutnya terjadi pada wartawan dari
mana pun,” tuturnya.
Terkait
pemulangan jenazah, hingga saat ini Pemerintah Australia hanya memberikan janji
saja tanpa ada setitik harapan baginya bisa membawa kembali jenazah.
Wawancara
kami berhenti sejenak, menunggu Shirley mengambil napas panjang beberapa detik.
Kemudian Shirley teringat pesan dari suaminya. “Kalau saya pergi ke Timor, dan
Tentara Indonesia akan menangkap saya dan memenjarakan saya. Tolong keluarkan
saya! dan bila perlu biaya, kamu bisa jual rumah kita,” katanya menirukan
ucapan suaminya sebelum berangkat ke Timor Timur.
“Tetapi kini keadaannya lain. Saya ingin
sekali mengeluarkan jenazahnya dan akan saya kuburkan di samping kuburan ibunya,”
tutur Shirley. Shirley menyesalkan sikap para orang-orang besar di pemerintahan,
termasuk Menteri Luar Negeri Australia yang sebenarnya mengetahui telah terjadi
penyerangan di Timor Timur dan terjadinya pembunuhan atas para wartawan
Australia. Pemerintah Australia kala itu menjaga rahasia agar kabar penyerangan
tidak tersebar luas.
Walaupun
pemerintah berusaha menutup lembar hitam tersebut, Shirley berjanji akan terus
mencari kebenaran dari peristiwa tersebut.
“Saya
pernah bertemu dengan Xanana Gusmao. Dia bilang kalau orang Timor Leste
berjuang dengan sungguh-sungguh. Itulah yang menjadi semangat saya
mengembalikan jenazah suami saya,” harapnya.
Film Balibo
Kisah
5 wartawan Australia yang diduga tewas di Balibo, Timor Timur, saat invasi
tentara Indonesia tahun 1975 yaitu Greg Shackleton, Tony Stewart, Garry
Cunningham, Brian Peters dan Malcolm Rennie dikisahkan dalam bentuk film
berjudul ‘Balibo Five’ karya Robert Connolly.
Setelah
film itu beredar, Shirley mengaku bertemu dengan orang-orang yang memuji film
tersebut. Tetapi menurut pandangannya, beberapa alurnya tidak sesuai dengan
kenyataan.
Foto: Viodeogo |
Namun
suguhan drama cukup mewakili kejadian seperti yang dialami wartawan-wartawan
tersebut.
“Karena
tugas sutradara adalah menarik minat penonton. Film itu dibuat dengan suguhan
drama agar orang tertarik menonton,” katanya. Ada beberapa kejadian seperti di
film yang menurut Shirley memang harus diungkapkan. Misalnya ada helikopter buatan
Amerika Serikat saat mengejar Roger East dan Jose Ramos Horta.
Shirley
katakan, itu adalah bukti bahwa Amerika Serikat tahu sekali tentang penyerangan
dan parahnya membantu persenjataan militer tentara Indonesia.
Bagi
Shirley kebenaran harus tetap diketahui orang banyak. Seperti dirinya yang tak
akan pernah berhenti menyuarakan keadilan. Di ujung wawancara, Shirley berharap
wartawan tetap menjalankan tugasnya sebagai juru warta kebenaran.
Comments
Post a Comment