Kepunahan di Pelupuk Mata (bagian 1)
Ikan-ikan di Sungai Taman Kapuas Terancam Habis
Viodeogo
Borneo Tribune, Putussibau
Ikan bukan sekedar menu makanan pelengkap yang tersaji di meja makan. Beberapa daerah di Indonesia, ikan menjadi favorit menu makanan sebagian orang. Tetapi lebih dari itu, ikan menjadi bagian adat istiadat turun temurun yang tak dapat dipisahkan oleh kehidupan masyarakat di suatu daerah tertentu.
Di Pulau Intata, Kabupaten Talaud, Sulut, masyarakatnya punya tradisi menangkap ikan dengan menggunakan janur kuning. Janur itu dibentangkan hingga beberapa kilometer ke arah laut, dalam hitungan menit kemudian, ikan-ikan dalam jumlah besar mendekati Janur. Janur pun ditarik warga Talaud, ikan-ikannya mengikuti janur dan warga dengan tangan kosong pun bisa menangkap ikan-ikan dengan berbagai jenis ukuran.
Sedangkan di Gajah Wong, Kotagede, Yogyakarta, masyarakatnya punya ritual memanggil ikan dengan musik Ciblong. Ikan yang sembunyi di balik batu keluar menuju suara lidi-lidi yang dipukul ke air oleh warga.
Ritual panggil ikan pun ada di Desa Ingko’tambe, Kecamatan Putussibau Selatan, Kapuas Hulu, Kalbar. Masyarakat Ingko’tambe pada bulan Agustus, berbondong-bondong masuk ke sungai Taman Tapa. Anak sungai Taman Kapuas. Di situ masyarakat membersihkan area sekitar sungai. Ranting tua, daun-daun tua yang berjatuhan, dan sampah-sampah yang berada di area sungai disingkirkan. Sungai tampak bersih, enak dipandang.
Sehabis bersih-bersih sekitar sungai Taman Tapa, ritual bernama Pamindara, yakni memanggil ikan dimulai. Pemangku adat Dayak memegang ayam dan babi yang sudah dimasak terlebih dahulu, mulutnya mengeluarkan kata-kata ritual, kemudian kedua hewan itu dilempar ke sungai. Warga lain yang bawa sesaji serupa, melemparnya ke sungai. Ritual itu merupakan tradisi memanggil ikan bagi masyarakat suku Dayak Taman Banuaka di Desa Ingko’tambe.
Foto: Gangsa perlahan mengeluarkan sampannya ingin pergi ke hulu sungai mencari ikan |
Sungai Taman Tapa menjadi lokasi yang paling sering diadakan ritual Pamindara, dibanding di lokasi lainnya. Karena di sana, masyarakat menyakini paling banyak terdapat ikan Tapa. Letaknya 400 meter dari Desa Ing’kotambe.
“Tiga tahun ini jarang kita lakukan, karena ikan-ikan Tapa mulai habis akibat disentrum oleh orang-orang luar desa kami,” kata Gangsa Anyang (66). Ia menjadi orang yang selalu diminta pendapat atau nasehat yang bersinggungan dengan adat istiadat oleh masyarakat setempat.
Ia beruntung mengerti persoalan administrasi dan hukum desa yang menyangkut desa tempat tinggalnya, karena pernah mengenyam tulis baca di Sekolah Rakyat.
Ia tahu betul seluk beluk aktivitas para penyentrum ikan itu. Bukan saja sentrum ikan di sungai Taman Tapa, sepanjang Sungai Taman Kapuas seberang Desa Ingko’tambe pun tak uput dari aktivitas liar tanpa ijin dan diam-diam yang dilakukan para penyentrum ikan itu.
Gangsa baru saja pulang dari mencari ikan di sungai Taman Kapuas. Sepatu kets tipis warna putih (mirip sepatu kungfu), celana panjang training, dan kaos panjang membalut tubuhnya kembali ke Rumah Betang menuju pintu bilik rumahnya. Rumah Betang adalah rumah panjang khas masyarakat Dayak.
Jam menunjukkan pukul 8 malam, dan ia pun belum dapat ikan malam itu. Masih dengan lampu penerang batere melingkar di kepala, ia rencana kembali ke sungai. Subuh kembali ke rumah, berharap mendapatkan ikan. Ia bercerita, sekarang sulit sekali menangkap ikan.
“Seperti ikan-ikan ini, kalau ada acara besar atau santai-santai kumpul dengan keluarga, 4-5 ekor ikan ini tidak cukup teman sambil ngobrol,” katanya. Gangsa menunjuk 3 ikan Jelawat sebesar telapak tangan dewasa yang dimasak berkuah di dua piring makan kaca, dan 4 ikan jenis yang sama tapi disalai. Teknik memasak ikan dengan cara pengasapan di atas tungku api.
Cara makannya tinggal diambil saja dengan jari-jari. Bukan saos tomat atau cabai sebagai cocolan sambal, tapi garam atau bubuk kaldu penyedap makanan sebagai cocolannya. Ibaratnya ikan-ikan itu seperti snack ringan kacang kulit, sebagai cemilan bercengkerama. Pilihan minumnya bukan teh botol seperti diiklan-iklan televisi, tapi arak putih kampel, kopi, dan teh hangat.
Ikan-ikan itu pun menjadi santapan ringan teman, menceritakan kegelisahan dirinya dan masyarakat Desa Ingko’tambe yang ikannya diambil para penyentrum. Ia berkisah, bila ikan-ikan itu terus di sentrum dalam jumlah yang banyak, kebiasaan ngemil ikan bisa jadi tinggal cerita saja.
“Empat tahun ini, mengambil ikan dengan cara sentrum marak terjadi di desa kami, mereka datang nanti sekitar jam 9 malam, baru pulang nanti sekitar jam 2 ke atas,” terangnya.
“Diam-diam penyentrum itu datang, jauh-jauh sebelum masuk sungai ke desa ini, mesin spit dimatikan, kelihatan sinar senter mereka mati-hidup cari ikan,” tambah Gangsa.
(bagian 2)
Baku Tembak antara Nelayan Tradisional vs Sentrum
Viodeogo
Borneo Tribune, Putussibau
Dari bibir tebing sungai, Gansa berdiri melihat dari kejauhan, satu sampan dengan lampu penerang senter besar kelap-kelip. Sebentar-sebentar mati, sebentar-sebentar hidup. “Senternya kelihatan jelas dari sini, jarak sekitar 100 an meter, itu pasti mereka. Karena kalau warga di sini menggunakan lampu penerang, hidup terus tidak pernah mati,” kata Gangsa.
Warga mencari ikan bila berhenti di satu titik lokasi ikan, lampu penerangnya tidak pernah dimatikan. “Kalau penyentrum itu, dia bukan cuma cari ikan-ikannya tapi jaga-jaga menyenter ke arah warga yang kebetulan mencari ikan, melihat ada penyentrum itu,” ujarnya.
Jika melihat ada warga yang mendekatinya, penyentrum pergi menjauh. Pergi hanya sementara. Tak lama kemudian kembali lagi di saat warga tidak mencari ikan. Hal yang paling dikhawatirkan warga, kalau penyentrum melengkapi dirinya dengan senjata api. “Mereka ketika terdesak, berani tarik pelatuk senapan ke arah kami. Itu dihindari oleh warga sewaktu bersamaan menemukan penyentrum ikan itu,” kata Antonius Abong (41) pencari ikan.
Foto: Antonius Abong mengeluh, ikan-ikan untuk makan sehari-hari sulit didapat. Para Penyetrum penyebabbyan. |
Kejadian pernah menelan korban antara warga asli dekat sungai dengan penyentrum yang bukan masyarakat asli. Aksi tembak-menembak memecah keheningan malam di sungai Ujung Pinang, sebelah hilir sungai Kantuk, Kecamatan Bika, kurang lebih 1 jam dari ibukota Putussibau.
Kejadian di tahun 2010, dengan menaiki spit –sampan panjang dengan tenaga mesin 40 PK, terlibat aksi kejar-kejaran dengan sebagian masyarakat Kecamatan Bika yang jauh-jauh hari sebelumnya melakukan pengintaian menjaga area sungai dari para penyentrum ikan.
Warga kalah cepat, hanya dengan menggunakan spit 15 PK mengejar penyetrum. Sama-sama menggunakan senjata api, baku tembak pun tak terelakkan. Kabarnya 2 orang tewas dari pihak penyentrum. “Kami tidak bisa melakukan aksi seperti itu, nanti terjadi hal yang tidak diinginkan mengena warga Desa Ingko’tambe,” kata Abong.
Keinginan untuk melakukan aksi melawan penyentrum terbesit di benak Abong dan warga lain. Tapi, Abong menilai ini permasalahan semua warga Desa Ingko’tambe. “Saya ingin warga dan perangkat desa kompak mengatasi masalah bertahun-tahun ini. Kalau tidak ingin ikan-ikan habis tak tersisa,” tegas Abong.
“Kalau ingin lawan dengan senjata, mari kita sama-sama tantang mereka (penyentrum) itu,” emosi Abong memuncak. Abong tidak sendirian bersuara saat setiap kali rapat digelar. Berharap warga lain pun peduli, sama-sama memperhatikan sungainya tempat mencari ikan dari para penyentrum.
Kenyataannya, masyarakat serta pemerintahan desa tidak dapat mengontrol tindakan illegal itu. Sering persoalan ini, Abong katakan disampaikan ke dinas terkait dan pihak kepolisian. “Tapi tidak pernah mendapat respon positif ditindak secara tegas pelaku sentrum itu. Akibat sentrum tersebut, masyarakat pun dibuat kesulitan mendapat ikan-ikan dalam jumlah yang banyak lagi. Bahkan untuk makan sehari-hari pun susah,” kata Gansang.
Pemerintahan desa sering mengundang rapat warga kemudian pihak kepolisian, tapi tidak pernah hasil rapat diterapkan. Masyarakat pernah menemui Kapolsek Dusun Danau Yang, itu pada tahun 2008 tapi tidak pernah mendapat perhatian penuh pula. Tujuannya warga meminta supaya dilakukan pengawasan rutin terhadap aktivitas illegal itu mencegah masuknya penyentrum-penyentrum ke Sungai Taman Tapa.
“ Pernah diadakan rapat tahun 2008 antar masyarakat Desa Ingko’tambe, pengurus desa dan dari Kapolsek. Berbagai macama keluhan masyarakat tertuang di rapat itu, namun nihil dilaksanakan,” kata Abong.
Alat-alat Tradisional Tangkap Ikan
Masyarakat Desa Ingko’tambe dulu penguasa Sungai Taman Kapuas sebelum invasi penyentrum masuk ke sungai yang ujung pangkalnya sampai ke negara Malaysia itu. Dari zaman masih dijajah Belanda, masyarakat Ing’kotambe menggunakan alat tangkap ikan bernama Tereng, sejenis tombak terbuat dari kayu yang ujungnya runcing.
Muara sungai terlihat jernih, berbagai jenis ikan terlihat jelas. Saatnya pemegang Tereng beraksi. Ia dituntut memiliki insting dan reflek tangan yang tinggi. Ikan depan mata, tanpa ragu tombak menghunus tubuh ikan.
“Ada ikan Tapa, satu ikan Tapa bisa mencapai 80 kg beratnya. Ada ikan Dalot (jelawat), ikan Sasat atau S’ma –termasuk ikan yang harganya mahal. Jika dijual per tiga setengah kilo seharga Rp. 450 ribu, para penyetrum biasanya menjual ikan Tapa ke Malaysia karena harga jual bisa lebih ditekan mahal,” kata Gangsa.
Ada lagi sejenis Tereng, namanya Serapang –kayu panjang, tapi depannya terdiri 3 mata kayu runcing. Cari ikan malam hari perlu lampu minyak sebagai penerang, waktu masih belum menggunakan lampu batere seperti sekarang ini.
“Ikan itu suka dengan sinar lampu minyak, nanti ikan-ikan kumpul, kita Manyuku (ambil ikan = bahasa Dayak Banuaka) dengan Tereng atau Serapang. Zaman saya, bisa kumpul 30-40 kg ikan Jelawat atau Tapa dengan Tereng,” kenang Gangsa.
“Terakhir kali 20 tahun lalu masih gunakan Tereng, sekarang jangan harap pakai Tereng,” tambahnya lagi.
Era Tereng dan Serapang sudah lewat, alat-alat di masa itu bermetamorfosa seperti Ngajur –bentangan tali nilon yang digantungi kail. Lalu ada Pamintang –sejenis Pukat dengan berbagai ukuran antar jarak anyaman. kemudian ada Tantapu –duri rotan berumur muda diikat atau dianyam berbentuk lonjong, sebagai umpannya adalah singkong.
“Di dalam Tantapu itu ikan pasti tidak bisa keluar lagi,” bilang Gangsa. Lainnya Bubu dari perangkap ikan terbuat dari anyaman bambu, dan pancing biasa.
Ikan itu sebelum maraknya aktivitas sentrum, Gansa cerita bisa mendapatkan ikan Tapa dengan panjang 80 depak. Ukuran 1 Depak = 1 ½ meter dengan alat Pamintang yang mata rantai 35 inci. “Dengan umpan pisang saja bisa. Sekarang sudah tidak ada lagi, yang ikan-ikan kecil pun sudah sedikit jumlahnya,” kata Gansa.
(bagian 3)
Dulu Mudah Dapat Ikan Banyak, Sekarang Harus Membeli
Viodeogo
Borneo Tribune, Putussibau
Perjalanan dari Putussibau, ibukota Kabupaten Kapuas Hulu ke Desa Ingko’tambe, hanya memerlukan waktu 30 menit saja. Transportasi angkutan umum seperti bis dengan sit 10 biasa lalu lalang angkut penumpang. Kondisi jalan bagus, bisa dilalui. Ia memiliki luas wilayah desa 50.400 meter persegi, terdiri dari 5 RT, dengan jumlah penduduk sebanyak 710 orang, dari 194 KK.
Mata pencaharian utama masyarakat Desa Ingko’tambe paling utama adalah berladang dan menoreh karet. Sedangkan mencari ikan, mata pencaharian selingan. Nelayan baru mencari ikan disaat makan malam dan selesai menghabiskan waktu kumpul dengan keluarga.
Jam 10 malam adalah waktu yang tepat mempersiapkan perlengkapan menangkap ikan. Dengan senter di tangan, atau yang punya senter dilingkar ke kepala wajib di bawa, dulu petromax. Karena pencarian ikan hingga subuh hari, perut pun tidak bisa diajak kompromi. Nasi dan lauk-pauk sisa makan malam jadi menu penggajal perut. Perlengkapan lengkap semua, pastinya pukat 2 ½ inci di teras rumah harus dibawa serta.
“Mulai banyak ikan itu puncaknya jam 1 malam, kalau sudah jam 4 subuh ikan mulai berkurang. Saya sering mengajak anak-anak mencari ikan ke sungai. Kalau anak saya libur sekolah,” kata Abong.
Selain di Taman Tapa, nelayan mencari ikan di dua lokasi lain tempat berkumpulnya ikan-ikan Jelawat, Tapa, dan S’ma yaitu Danau Seberang, dan Danau Sengkalang. Lokasi itu pun tempat incaran para penyentrum.
Sesampai di lokasi, nelayan melempar pukat atau jala ke sungai. Arus air sungai malam hari sangat kuat. Saat malam hari pun, air sedang pasang-pasangnya. “Tidak banyak bisa diambil setiap malamnya semenjak kelompok penyentrum itu rajin ke sini. Sekarang bisa mendapatkan hampir 10 kilo saja sudah bagus. Ikan juga dari hari ke hari makin kecil ukurannya,” kata Abong.
Ingin hasil tangkapan lebih banyak, pukat bukan satu-satunya perangkap menangkap ikan. Seperti Abong misalnya, ia mempunyai Ngajur, bentangan tali nilon dibentangkan berpuluh-puluh kilometer jaraknya. Ngajur ini dibiarkan sepanjang hari tenggalam di dalam sungai. Masing-masing nelayan mempunyai lokasi khusus mendapatkan ikan.
Satu lokasi yang sama bisa ditempati Ngajur-ngajur milik nelayan-nelayan ikan lainnya juga. Bila tidak kebingungan siapa pemilik Ngajur sebenarnya, maka ada tanda pengenalnya. Diatas nilon, biasanya dikaitkan dengan botol plastik, atau bekas kemasan oli. Jarak antar tutup botol itu, satu meter-satu meter. Di bawah nilon dikaitkan umpan. Nelayan lebih sering membentangkan Ngaju di pinggir bibir sungai. Karena ikan sembunyi di bawah akar-akar pohon.
“Kesal sekali, sewaktu-waktu kami tidak ada di situ, ikan-ikannya diambil penyentrum,” kesal Abong. Tak banyak akhirnya ikan yang kemudian dibawa pulang.
Ikan Menjadi Barang Mewah
Olahan menu masakan favorit ikan bagi warga Desa Ingk’otambe dengan cara di Brubut -dibusukkan dengan cara direndam di dalam air. Perlu waktu berhari-hari membusukkannya, setelah itu diolah dengan racikan bumbu. Ikan sebelum direndam, dicincang dulu, kemudian taburi garam, masukkan dalam tempayan yang berisi air. Sewaktu-waktu ingin diolah tinggal diambil ikan yang dicincang di dalam tempayan itu. Biasanya masakan ini saat acara spesial seperti Gawe Dayak atau ritual adat.
Tak disangka tak diduga, ikan-ikan sungai Taman Kapuas dijual oleh para penyentrum hingga ke negeri Malaysia. Sudah ada pengepul yang siap menampung ikan-ikan itu. Harganya menjadi melambung tinggi bila sudah sampai di Malaysia.
“Ikan Jelawat 1 kgnya dijual Rp 50 ribu di pasar pagi Putussibau. Jika ke Malaysia bisa hingga 3 atau 4 kali lipat harganya,” kata Abong.
Ikan pun menjadi barang yang mewah. Jumlah habitatnya semakin berkurang. Warga akui susah sekali mendapatkan ikan. Apalagi bila akan digelar hajatan masyarakat. Padahal dari masa nenek moyang ikan menu yang wajib dihidangkan.
Foto: Yosep, nelayan lokal menunjukkan hasil tangkapan ikan. |
Ikan bagi masyarakat Ingko’tambe ibarat dua mata koin yang tak dapat dipisahkan. Misal, masyarakat ingin menggelar Alinsa –buang pantang, terlebih dahulu diadakan rapat, atau namanya Kombong. Warga berbondong-bondong menuju lokasi buang pantang. Selama gotong royong, warga membawa ikan yang sudah dimasak, digoreng, dibakar atau disalai. Sesuai selera. Maka warga mencari ikan terlebih dahulu, 1 malam sebelumnya. Saat Alinsa, salah satu rumah betang yang menjadi tuan rumah penuh dengan keramaian warga.
Berkumpul terlebih dahulu di rumah betang, selanjutnya beramai-ramai menaiki sampan menuju danau atau area sungai. Sebelum Alinsa, warga berpuasa selama 3 hari sebagai tanda berduka cita, tidak boleh berpergian jauh dari Rumah Betang. Setelah 3 hari buang pantang puasa, baru ramai-ramai ke sungai. Masyarakat berbondong-bondong mandi dan makan di sungai, nanti sisa-sisa makanan jatuh ke sungai untuk ikan-ikan.
Ini berbeda dengan tradisi Alinsa bagi Dayak Tamambaloh, yang terletak di sepanjang aliran sungai Tamambaloh, Kecamatan Emboloh Hulu, masih Kabupaten Kapuas Hulu. Alinsa masyarakat Tamambaloh, yakni membersihkan badan dengan air sungai Tamambaloh, kemudian acara makan-makannya baru di rumah.
Dulu Alinsa wajib membawa ikan, sekarang tidak diwajibakan karena berkurangnya populasi ikan di Sungai Taman Kapuas. “Susah dapat ikan. Rasanya ada yang kurang kalau acara Alinsa atau ritual lainnya tidak ada Ikan,” kata Gangsa.
“Ritual adat lain pun seperti saat pesta perkawinan dan penghormatan kepada orang yang telah meninggal dunia, berbagai jenis masakan ikan dihidangkan. Undangan membawa ikan, tapi sekarang karena tangkapan ikan semakin sedikit, tidak wajib membawa ikan. Gantinya biasa ayam, atau babi. Itu pun beli, bahkan banyak yang beli Ikan,” kata Gangsa menyiratkan keironisan masyarakat yang dulu mudah sekali menangkap ikan dalam jumlah banyak, sekarang malah membeli.
(Habis)
Hukum Membiarkan Penjarah Ikan Berkeliaran
Viodeogo
Borneo Tribune, Putussibau
Laki-laki paruh baya menaiki tangga rumah betang. Di pinggangnya terikat parang bersarung, tangan sebelah kiri memegang kayuhan sampan dan gergaji. Di tangan kanannya, 5 ekor ikan jelawat digengam erat. Beberapa ikan masih menggerakkan ekor, sisa-sia tanda kehidupan si ikan sebelum disantap keluarga Yosep (63). Pria ini baru saja pulang dari hulu sungai. Jam saat itu menunjukkan pukul setengah 7 malam.
“Ini nanti untuk lauk makan malam, mau goreng dan dicampur dengan sayur umbi keladi,” kata Yosep. Hasil tangkapannya dari hari ke hari sedikit saja. “Dua malam lalu tidak dapat,” terangnya.
Sama seperti yang lain, Yosep mengeluhkan karena sedikit sekali tangkapan yang ia peroleh. Penyetrum ikan di sungai tempat biasa Yosep cari ikan adalah biang keladi berkurangnya populasi habitat ikan-ikan di sungai. Yosep tidak tahu, asal penyetrum-penyetrum itu. Tapi ia jamin bukan asli warga Desa Ingko’tambe.
“Kita tidak tahu siapa mereka (penyetrum). Mereka sentrum ikan-ikan sewaktu kami tidur,” kata Yosep sambil melipat pukat khusus menangkap ikan Tapa. Ukuran lubang pukat itu, satu setengah jengkal tangan dewasa. Jarang sekali digunakan semenjak penyetrum hadir menjarah ikan-ikan Tapa.
“Tapa datang dari hulu sungai saat ingin bertelur. Kalau saat nasib tidak baik datang para penyetrum, induk ikan itu mati, sekaligus telur-telurnya,” kata Yosep.
Yosep dan warga Desa Ingko’tambe mengharapkan aparat penegak hukum tindak tegas penyetrum di kawasan sungai Taman Kapuas. Penyetruman harus dihentikan agar keberlangsungan ikan-ikan dan segala ekosistem di sungai Taman Kapuas tetap ada. Masyarakat Desa Ingko’tambe berharap ikan-ikan dapat dinikmati hingga generasi berikutnya.
“Saya pernah usulkan bentuk tim untuk mengawasi para penyetrum dan menyuarakannya hingga ke pemerintah daerah dan wakil rakyat. Tapi karena alasan tidak ada dana untuk membentuk tim tersebut maka merembet pada alasan harus ada payung hukum pembentukan tim ini,” kata Y. Gansya, Kades Ingko’tambe.
Foto: Anak-anak dari rumah betang Desa Ingko'tambe |
Gansya berkata desanya tidak bisa berbuat apa-apa. Ia katakan justru harusnya dinas-dinas terkait memperhatikan pengambilan ikan secara besar-besaran dengan sentrum itu. Rapat sering diadakan untuk membicarakan tindakan tak bertanggung jawab dari para pengambil ikan di desanya, tapi selalu saja tidak ada hasil nyata. Malah hingga sekarang aktivitas pengambilan ikan dengan sentrum masih terus berlanjut.
“Saya berharap pempinan desa bergerak, merumuskan larangan pengambilan ikan dalam jumlah banyak dengan sentrum,” kata Abong .
Hukum Tumpul
Sebenarnya hukuman bagi para penyetrum ikan dengan menggunakan listrik terhitung berat. UU No 31 tahun 2001 pasal 84 ayat 1 tentang Perikanan tertulis bahwa penggunaan setrum listrik untuk menangkap ikan, adalah tindakan melawan hukum dengan ancaman pidana penjara 6 tahun penjara atau denda Rp.1.200.000.000, (Satu Milyar Dua Ratus Juta Rupiah).
Kepala Badan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kabupaten Kapuas Hulu, Robertus Jantan menanggapi persoalan ini. Ia pun kesal juga dengan aktivitas meresahkan dari para penyetrum di beberapa aliran sungai dekat dengan pemukiman masyarakat desa.
Diakuinya, Kapuas Hulu memiliki perda yang mengatur pelarangan tindakan menyetrum, tapi kenyataannya sulit diterapkan. Pihak kepolisian tidak serius menangani itu, menurutnya. “Isu-isu penggunaan racun dan sentrum di sungai Kapuas sudah lama. Orang luar desa bebas menyetrum, tapi penyetrum bisa langgeng karena tidak ada pengawasan,” ujarnya.
Matinya bibit ikan sehingga produktifitas ikan akan berkurang bahkan punah, Jantau tidak inginkan terjadi di Kapuas Hulu ini. Ia sangat berharap pihak kepolisian tegas menindak para penyetrum ikan.
Perda yang dimaksud adalah, Perda No. 8 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Pengawasan Konservasi Sumber Daya Ikan di perairan umum kabupaten Kapuas Hulu. perda itu pun mengatur pelarangan dan upaya menindak penyetrum karena merusak habitat perairan sungai Kapuas.
Di pasal 8 ayat 1 tercantum pengawasan terhadap penggunaan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan seperti penggunaan bahan kimia (potas, lanit, dan lain-lain, penggunaan alat tangkap konvensional yang tidak standar, dan penggunaan alat tangkap elektrik seperti penggunaan alat setrum.
Di ayat 3 pasal yang sama tertulis, dalam rangka pemanfaatan yang bijaksana terhadap sumber daya ikan sehingga menjamin kelangsungan hidup ikan, produktifitas yang berkesinambungan dan tidak punahnya spesies-spesies ikan di perairan pedalaman Kapuas Hulu, perlu untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas masyarakat di lingkungan perairan umum dan kawasan konservasi sumber daya ikan.
Lalu,pengawasan dilaksanakan secara bersama-sama antara masyarakat, pemerintah daerah, kepolisian dan semua steacholder yang berkepentingan terhadap sumber daya ikan. Perda itu pun memberikan sanksi pidana bila dilanggar. Tercantum di pasal 19, ayat 1. Ia berisi, setiap orang yang dengan sengaja di wilayah perairan umum kabupaten melakukan kegiatan yang dilarang yaitu dengan menggunakan bahan kimia dan sentrum listrik diancam pidana kurungan paling lama 6 bulan dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000.
Secara institusi, Jantau sangat mengharapkan pihak keamanan yakni polisi menindak tegas penyetrum ikan itu. Jantau tak memungkiri, pernah terjadi penembakan antara masyarakat dengan penyetrum. “Masyarakat melakukan perlawanan karena marah, dan tidak ada tempat ke mana mau mengadu,” ujarnya.
Sementara itu, Wakapolres Kapuas Hulu, Kompol Imam Riyadi, SIK mengatakan aparat kepolisiansebagai penegak hukum tidak akan dapat bertugas secara optimal bila tidak dibantu masyarakat. “Masyarakat harusnya memberikan informasi titik atau lokasi penyetruman sehingga aparat mengambil langkah segera dapat mengambil tindakan sesuai ketentuan,” kata Imam.
“Kalau memang ada informasi daerahnya di mana tetap saya tindak lanjut. Kalau ada pemberitahuan, kita harap jangan sampai terjadi tembak-tembakan lagi,” kata Imam. Ia katakan, kejadian tembak-menembak antar warga desa di Kecamatan Bika dengan penyetrum, sampai sekarang belum ada penyelesaian.
“Itu bisa menjadi menjadi bahaya laten, yang terus menerus terjadi saling tembak menembak. Maka, masyarakat harus lapor dengan persoalan itu,” harap Imam.
Masyarakat dibuat kebingungan sepertinya. “Saya sudah tua begini, masih punya semangat cari ikan. Tapi penyetrum itu membuat saya tidak punya semangat mengambil ikan-ikan di tempat saya dulu bisa mendapatkan berpuluh-puluh kilo. Kami sudah bingung mau ke mana lagi mencari penyelesaian masalah ini,” kata Gangsa.
Diterbitkan di Borneo Tribune, edisi 7-13 Juli 2011, dalam 6 edisi.
Diterbitkan di Borneo Tribune, edisi 7-13 Juli 2011, dalam 6 edisi.
Comments
Post a Comment